Entah untuk yang kesekiankalinya aku berada pada sebuah kondisi kejiwaan yang sangat rentan dan sensitif terhaap godaan godaan syaiton terkutuk. Sudah aku ketahui jikalau apa yang menghambat perjalanan ruh menuju kesempurnaan adalah hijab yang disebabkan oleh kemaksiatan dan kebodohan. Setiap bentuk kemaksiatan yang dilakukan akan meninggalkan titik titik noda hitam yang jika secara terus menerus dibiarkan akan menjelma menjadi selimut hati yang tidak akan tertembus oleh cahaya ilahi ataupun akan dapat mengikat jiwa kita pada suatu maqam yang tidak memungkinkannya untuk menerangi dirinya dengan cahaya ilahi. Selain kemaksiatan tersebut, hijab itu juga dapat disebabkan oleh kebodohan yang berakibat pada ketidaktahuan arah yang akan dituju sehingga sangat rentan menyesatkan perjalanan jiwa atau ruh suci ke belenggu belenggu fisik yang jauh dari temaran sinar ilahi. Sepenuhnyapun aku sadar jika yang selama ini menjadi hijab antara Aku dan diriNya adalah kemaksiatan yang masih menjadi bagian dari aktifiasku. Berbagai bentuk pengetahuan yang kumiliki sebenarnya sudah cukup untuk menyingkap hijab yang disebabkan oleh kebodohan. Dari berbagai pengalaman dan referensi yang kudalami sebenarnya aku sudah tahu ke mana mestinya jiwa ini berlabuh, rel ataupun frame yang membatasi pergerakannya untuk terus pada alur gerak menuju kesempurnaan.

Ketika aku berkata aku, maka aku sendiri kebingungan aku ini mereprentasikan siapa. Apakah aku mereprentasikan aku yang selalu saja tunduk pada naluri naluri kebinatanganku ataukah aku adalah aku yang senantiasa haus akan ma’rifat dan selalu dahaga akan ketenangan jiwa dengan berusaha menundukkan aku yang selalu haus akan kenikmatan duniawi. Saat kata demi kata dalam goresanku ini merangkai kalimat demi kalimat dan mulai mengikat sebuah nilai dan pemahaman tentang aku dan berbagai tindakan aku. Aku menjadi semakin bingung dengan diriku yang serba ambivalen. Memang manusia merupakan kesatuan fungsi berfikir, berkata dan bertindak. Keselarasan antara ketiganya mencerminkan pribadi yang konsisten dan bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya. Kesatuan fungsi berfikir berkata dan bertindak sejauh ini menjadi sesuatu yang masih sulit kuimplementasikan secara konsisten, sehingga akupun serasa menjadi bagian dari aktor aktor kawakan yang sangat lihai memainkan peran yang sesungguhnya sangat kontras dengan karaker yang dimilikinya. Sangat wajarlah kemudian ketika aku berkata aku, aku lalu kebingungan aku ini mereprentasikan aku yang mana. Aku rasanya hidup di dua alam yang berbeda yang keduanya sama sekali terpisahkan sehingga apa yang terjadi di alam ide atau fikiran tidak mengkonsekuensikan apa yang terjadi di ranah praksisku. Atau inikah yang dinamakan kehendak bebas itu, mungkinkah kehendak bebas yang katanya merupakan karunia khas manusia justru menjadi penghambat kebersatuan aku sebagaimana yang aku fikirkan dengan aku sebagaimana yang aku lakukan. Sudah terlalu sering terjadi dalam pengalaman hidupku sesuatu yang begitu manis di benak dan di bibirku menjadi begitu pahit dalam tindakanku.

Adakah aku sebagaimana yang aku fikirkan dapat menjelma menjadi aku sebagaimana yang aku lakukan ?
Aku sebagaimana yang aku fikirkan terkonstruk dari bangunan bangunan pengetahuan yang sangat memungkinkan untuk mendekati titik titik kesempurnaan,sedangkan aku sebagaimana yang aku lakukan justru menggiringku menjauh dari Dzat yang maha sempurna. Aku ingin mengakhiri perdebatan seperti ini. Perdebatan yang sungguh sangat membingunkanku karena pada beberapa hal aku sering tidak dapat mengidentifikasi diriku yang paling hakiki, aku merasakan seolah olah antara duta ilahi dengan hawa nafsuku silih berganti menjadi panglima atas diriku dan terus terang sangatlah menyiksaku, melukai bathinku menghambat akifitas sosialku dan membuyarkan mimpi mimpi masa depanku.

0 komentar:

Posting Komentar